Suara dari Pulau Bawean: Saat Anak Berkebutuhan Khusus Menanti Harapan

OlehHimmatusy Syarifah*

Opini, beritakota.net | Di tengah upaya pemerintah Kabupaten Gresik membangun pendidikan yang merata, masih ada satu kelompok anak yang nyaris tak terdengar suaranya: anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Pulau Bawean.

Pulau Bawean memang jauh dari pusat pemerintahan. Tapi bukan berarti hak-hak warganya boleh tertinggal, apalagi hak anak-anak yang membutuhkan penanganan khusus. Mereka bukan jumlah kecil. Mereka hadir di tiap pelosok desa, dalam keluarga yang berharap banyak, namun sering terbentur keterbatasan akses, tenaga, dan layanan terapi.


Sekitar tahun 2022, Pemerintah Kabupaten Gresik sempat membuka harapan dengan hadirnya Sub UPT Resource Center (kini Sub UPT LP ABK) di Bawean. Seorang tenaga terapis ditugaskan ke pulau selama dua bulan. Sayangnya, inisiatif itu kandas karena ketiadaan tenaga lanjutan dan pelatihan untuk SDM lokal. Program berhenti, dan harapan pun kembali surut.


Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa menunggu terlalu lama. Waktu emas perkembangan mereka terus berjalan, dan tanpa intervensi sejak dini, potensi kemandirian yang semestinya bisa tumbuh bisa hilang selamanya.


Upaya komunitas pun pernah hadir. Beberapa organisasi seperti Sahabat Nasyiatul Aisyiyah dan Sahabat Fatayat Bawean turun tangan, menyelenggarakan layanan sederhana berbasis relawan. Tapi lagi-lagi, berbagai kendala menghadang. Gempa bumi mengguncang Bawean, ruang terapi dialihfungsikan tanpa pemberitahuan, dan akhirnya kegiatan pun terhenti.


Ironis, ketika regulasi dan koordinasi justru menjadi hambatan utama bagi pelayanan kemanusiaan.


Kita Butuh Kebijakan yang Berpihak

Keadilan layanan publik bukan hanya soal membangun jalan dan jembatan. Ia juga tentang membangun akses yang layak bagi kelompok rentan, termasuk ABK. Sudah saatnya Pemkab Gresik menaruh perhatian serius dengan langkah nyata:


Pertama: Mengaktifkan kembali Sub UPT LP ABK Bawean sebagai unit layanan permanen.


Kedua: Melatih relawan lokal sebagai terapis komunitas dasar.


Ketiga: Menetapkan lokasi layanan terapi yang aman, tetap, dan tidak mudah dialihfungsikan.


Keempat: Melibatkan organisasi lokal dan lembaga pendidikan dalam gerakan bersama.


Langkah-langkah ini bukan hal baru. Banyak daerah telah memulainya dengan model community-based inclusive development. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik dan ketulusan hati.


Jangan Biarkan Mereka Ditinggalkan

Mereka bukan hanya statistik dalam laporan. Mereka adalah anak-anak kita, cucu-cucu kita, masa depan daerah ini. Jika hari ini kita tak bertindak, esok mungkin akan terlambat. Dan sebuah peradaban bisa dinilai dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.


Pulau Bawean tidak butuh belas kasihan. Kami hanya butuh keadilan layanan. Kami siap berkolaborasi, kami siap berkontribusi. Tapi kami butuh hadirnya negara di tengah kami.


Karena bagi anak berkebutuhan khusus, terapi bukan sekadar layanan—tetapi jalan hidup yang menentukan masa depan.


Catatan redaksi: Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis sebagai kepala madrasah di Pulau Bawean yang terlibat langsung dalam pendidikan inklusif dan advokasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.

*Penulis pemerhati Pendidikan Inklusif dan Kepala MTs Umar Mas’ud di Pulau Bawean