Menjadi Wartawan Kompeten dan Profesional, Sebuah Keniscayaan

Tulisan Lepas: Aat Surya Safaat*

Penulis, Aat Surya Safaat (Foto: Istimewa)
       “Bad news is a good news.” Ada pro-kontra terhadap adagium ini. Tapi memang ada pandangan umum dalam dunia pers, yakni bahwa berita buruk itu justru “menjual”. Semakin buruk, semakin bernilai (sebagai berita). 


       Namun, kecenderungan media yang memberi porsi lebih besar pada “berita buruk” belakangan banyak dipertanyakan. Betapa pun kabar buruk itu memang nyata, tetapi tidak sedikit yang cemas bahwa pemberitaan yang negatif bisa berdampak buruk bagi psikologi pembaca, apalagi di era media sosial saat ini, ketika berita hoax berseliweran seperti tak ada hentinya.


       Di Indonesia, adagium “bad news is a good news” itu sendiri seperti mengikuti arah kebebasan pers yang berkembang sejak era Reformasi, sebagaimana ditandai banyaknya media massa yang menyiarkan berita sensasional dan tidak berdasarkan fakta serta berangkat dari isu yang tidak jelas sumbernya.


       Jika kita amati, kebebasan pers yang cenderung ”kebablasan” itu terutama terjadi karena kepentingan bisnis media lebih mengemuka dibanding kepentingan idealnya karena tingginya biaya operasional perusahaan pers yang bersangkutan. 


       Di era Reformasi yang kemudian masuk ke era digital, tercatat banyak media cetak yang gulung tikar, sementara media-media online cenderung mengejar jumlah viewer sebanyak-banyaknya, dan media elektronik, khususnya media televisi cenderung lebih mengejar “rating”.


       Khusus perkembangan pers di Indonesia, di era Reformasi sebenarnya terjadi penyempurnaan dengan keluarnya UU No. 40 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Pers yang antara lain menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak diperbolehkan lagi adanya penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.


       Ditegaskan pula bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media infomasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, di samping dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.


       Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya, pers harus pula menghormati hak asasi setiap orang, sehingga dituntut adanya pers profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat berupa adanya jaminan hak jawab dan hak koreksi, baik yang dikemukakan individu maupun lembaga kemasyarakatan dan Dewan Pers.


       Dengan kata lain, insan pers di Indonesia dituntut untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku agar ekses-ekses dan sensasionalisme yang menyertai kebebasan pers dapat dihindari. Pers juga harus memberikan harapan dan optimisme bagi khalayak.


Tantangan 


       Terkait pers itu sendiri, dalam bahasa Fraser Bond seperti dijelaskan dalam bukunya “An Introduction to Journalism” (Bond, 1984 : 3), pers dalam segala bentuknya harus sanggup memberikan pengaruh positif kepada publik guna lebih menyempurnakan hidupnya, yakni agar lebih aman, sejahtera, dan lebih menjanjikan.


       Sebaliknya, pers jangan menjadi sumber keburukan seperti menyebarkan permusuhan, penghujatan, penghinaan, provokasi, adu domba, fitnah (hoax), pornografi, sensasi, dan pengumbaran selera rendah masyarakat.


       Dalam kaitan ini pula maka pers di Indonesia harus tetap menyiarkan berita-berita yang sifatnya menenteramkan, berimbang, dan memberi harapan serta optimisme kepada masyarakat luas.


       Kiprah pers seperti itu sangat penting, terlebih industri pers saat ini sudah masuk ke era digital dan era konvergensi media yang menuntut adanya peningkatan kreativitas, inovasi, dan profesionalisme serta penguasaan teknologi informasi.


       Namun apapun kecenderungannya, menurut Fred S. Siebert dalam bukunya ”Four Theories of the Press” (1984), tujuan dari media massa adalah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh informasi yang memungkinkan mereka memiliki sebuah masyarakat yang damai dan produktif serta memberikan kepuasaan dan hiburan.


       Siebert juga menjelaskan, secara umum di dunia ini terdapat empat sistem pers, yakni authoritarian (dalam rezim otoriter), libertarian (pers bebas), social responsibility (pertanggungjawaban sosial), dan communist (sistem pers komunis yang dalam terminologi Siebert disebut sebagai Komunis Soviet).


        Namun Siebert mengakui tidak adanya sistem pers yang mutlak, melainkan yang satu cenderung lebih dominan dibanding yang lainnya. Fakta juga menunjukkan adanya beberapa negara, bahkan negara maju yang ternyata menggunakan media massa tertentu sebagai ”corong” pemerintah yang bersangkutan.


       Sebagai contoh, Kantor Berita Bernama di Malaysia dan British Broadcasting Corporation (BBC) London di Inggris yang sampai sekarang berdasarkan pengamatan tetap menjadi “corong” pemerintahnya masing-masing.


       Demikian juga kantor berita radio Voice of America (VOA) tetap menjadi “corong” Pemerintah Amerika Serikat, terutama untuk pencitraan ke luar negeri. Mereka relatif berhasil mempertahankan bahkan meningkatkan citra negara dan pemerintahnya masing-masing di mata dunia.


       Sementara itu apa yang dimaksud era konvergensi media adalah era berkembangnya industri pers, di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke platform media cetak, media elektronik, dan media online.


       Konsekuensinya, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia mau tidak mau mengalami pergeseran dan menghasilkan beragam istilah, mulai dari cyber journalism, online journalism, dan convergent journalism.


        Dari penjelasan di atas, nampak bahwa perkembangan politik dan regulasi pers serta kemajuan teknologi informasi pada dasarnya telah memberikan tantangan terhadap perusahaan pers dan informasi untuk maju dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing.

     

  Maka, media massa, termasuk para wartawannya dituntut supaya melakukan terobosan dalam upaya memelihara kelangsungan hidup serta meningkatkan kemampuanya di masa depan, termasuk dalam menjalankan kiprahnya pasca pandemi COVID-19.


       Lebih dari itu, mereka dituntut memahami KEJ dan peraturan lainnya, termasuk Undang-undang Pokok Pers, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas (PPRD), plus Pedoman Pemberitaan Media Siber (bagi wartawan  media siber/online) dan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (bagi wartawan radio dan televisi).


       Memahami dan mempraktekkan berbagai ketentuan terkait pers itu sejatinya merupakan keniscayaan untuk menunjukkan bahwa wartawan Indonesia adalah jurnalis yang kompeten dan profesional, sehingga kehadirannya memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. 


       Para jurnalis juga jangan lagi berpegang mutlak pada adagium “bad news is a good news” agar tidak terjebak pada berita-berita hoax dan sensasional, kecuali dalam batas-batas tertentu untuk kepentingan kontrol sosial, dan itupun harus dipoles dengan narasi yang tetap memberi harapan untuk masa depan yang lebih baik. 


       Last but not least, perlu menjadi perhatian bahwa di era medsos saat ini pun wartawan dan media massa yang kredibel tetap memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi dan mengubah opini publik. Media massa, bagaimanapun tetap bisa “mengubah cacing jadi naga, atau sebaliknya, naga jadi cacing”.     


*Aat Surya Safaat adalah Wartawan Senior dan Konsultan Komunikasi. Mantan Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York yang juga pernah menjadi Direktur Pemberitaan ANTARA ini sejak beberapa tahun terakhir duduk di Komisi Infokom MUI serta mendapat amanah sebagai Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) dan Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).